Kapitalisme tidak peduli dengan kemiskinan, penderitaan, kelaparan, dan Penindasan secara masif terhadap Orang Asli Papua. Pendukung Kapitalisme adalah sistemik kolonialisme secara terstruktur untuk mendapatkan keuntungan nilai lebih. Kolonialisme di manfaatkan oleh negara Imperialisme hanya untuk mangatur regulasi atau memuluskan Hukum Akumulasi atas kepentingan Imperialisme Monopoli membuka ladang Eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA), di wilayah kolonialisme itu sendiri.
Kita melihat kembali Kritikan Marxis terhadap reaksi Kapitalisme ke abad 20, karena faktor struktur tidak seimbang, Kelas paling dibawah adalah Pekerja (proletar), dan kelas atas (Borjuis). Kelas 1 & 2 itu di ciptakan dengan muatan kepentingan ekonomi politik kelas atas dalam hal ini Imperialisme dan Neonolonialisme. Aktivitas Kelompok kelas bawah atau kelas tertindas selalu Bertani, berburuh, Beternak, bahkan tenaganya 1 x 24 jam di eksploitasi habis habisan untuk kepentingan imperialisme mendapatkan nilai lebih atau mendapatkan modal berlipat ganda.
Struktur Kapitalisme bisa melanggengkan dengan aman ketika Militerisme menjaga dan mengawasi sistem akumulasi modal, karena Militer sebagai instrumen Kapitalisme dan pengaman investasi milik para Pemodal. Dan praktik Militerisme lebih cenderung menciptakan kejahatan refresif, agresif, Reaksioner, otoritanianisme, dan tunjukan watak arogansi karena militer salah satu Alat Manufer politik imperialisme yang punya kepentingan didalam wilayah kekuasaan Kolonialisme dan militer TNI POLRI di Papua, Pembajak anjing penjaga investasi di Papua Barat.
Contohnya kita saksikan sendiri bahwa pada tahun 2018 sampai 30 November 2022 76.250 ribu pengungsi tercipta di Nduga, Kepulauan Yapen, Intan jaya, Maybrad, Yahukimo, dan Pengunungan Bintang.
76.250 Warga sipil Papua di usir secara paksa oleh (TNI/POLRI), dengan itu sesuai peta investasi untuk warga sipil harus di gusur agar investasi bisa berjalan dengan mulus tanpa hambatan.
Dan pengungsi warga sipil Papua tercipta, ada keterlibatan Gubernur Papua (Lukas Enembe) karena pada 24 juli 2020 Lukas Enembe selaku Gubernur Papua memberikan Surat Rekomendasi "Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) Kepada Direktur utama PT. Mining Industry Indonesia (MIND ID).
Dari sini kita Rakyat tertindas di Papua bisa melabelkan bahwa Elit Politik Papua yang bekerja didalam sistem birokrasi kolonial sebagai Pilar Pilar kekuasaan jakarta di West Papua. Dan Elit politik Papua sebagai anjing Penjaga Sistem Penindasan an antek antek para pemodal / Kapital.
Persoalan kebangsaan kita Rakyat tertindas di Papua tidak bisa gantungkan kepada para elit politik birokrasi, karena mereka adalah anjing penjaga sistem penindasan jakarta.
Mata rantai penindasan bisa putus ketika Rakyat berpolitik didalam organisasi perjuangan yang ada di Tanah Air West Papua.
Che Guevara menegaskan bahwa; Revolusi bukanlah buah apel yang jatuh ketika sudah matang, tapi kamu yang harus membuatnya jatuh. Penegasan ini kita lantas berpikir bahwa perjuangan kemerdekaan sesungguhnya ada pada kekuatan Rakyat tertindas untuk menggakhiri penderitaan dan membawah pembebasan Nasional bagi Bangsa Papua Barat.
Kaum Revolusioner Papua harus berpikir dan bertindak untuk mengatur kekuatan sistem perlawanan untuk menentang kekuasaan kolonialisme, bukan mengatur sistem perpecahan dan ambisi jabatan organisasi Perjuangan. Rakyat sudah merasa jenu dengan dinamika perpecahan didalam internal gerakan perjuangan dengan faktor ambisius jabatan untuk mencari nama besar.
Revolusi bisa berakhir kapan saja ketika pejuang Papua sebagai pilar pilar bangsa tertindas bersatu didalam wada persatuan, dan bersatu dalam agenda untu menentang segala kebijakan sistem monopoli.
Keyakinan Rakyat bahwa Papua Pasti Merdeka, namun dengan harapan Pejuan Papua harus bersatu dalam satu wada Perjuangan agar arah kemajuan Perjuangan terlihat jelas.
#Salam_Pembebasan !!
#PAPUA BUKAN TANAH KOSONG !!
#TUTUP_MATA_ LAWAN BALIK !!