This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 09 Agustus 2024

Dalam Rangkah HUT Masyarakat Adat sedunia pada 9 Agustus 2024. Kami Gerakan Mahasiswa Papua (GERMAPA) mengeluarkan Surat Kutukan terhadap Wakil Mentri Dalam Negeri Jhon Wempi Wetipo & Ismael Asso selaku Anggota MRPP.


Boneka merampas Tanah Adat Hubula itu di dorong oleh kepentingan jabatan & kekuasaan. Boneka jakarta dengan segala macam cara mengunakan untuk mendapatkan Tanah 108 hektar, tetapi faktanya masyarakat Adat sebagai ahli waris menolak karena kekawatiran masyarakat Adat kehilangan hak atas Tanah, Hutan, sumber pengetahuan Adat, dan sumber obat - obatan tradisional. 

Anggota MRP Papua Pegunungan Ismail Asso & Wempi Wetipo selaku Wakil Mentri Dalam Negeri  adalah aktor konflik agraria yang mendorong untuk penempatan kantor Gubernur tanpa melakukan analisis tentang masa depan masyarakat Adat. Anggota MRP Ismael Asso & Wakil Mentri Dalam Negeri Wempi Wetipo adalah aktor konflik & aktor yang menciptakan Kejahatan kemanusiaan  terhadap masyarakat Wouma, Welesi, dan pada umumnya masyarakat Adat Hubula di wamena. 

Ismael & Wempi juga bisa kita kategorikan sebagai kapital birokrat yang ada didalam sistem kolonialisme Indonesia untuk melanggengkan perampasan Tanah, penindasan, penghisapan, diskrimimasi dan marginalisasi terhadap masyarakat Adat. 

Dan Hak hidup masyarakat Suku Hubula walayah konfederasi Adat Wouma & Welesi terancam punah karena Tanah yang selalu memberi kehidupan terhadap masyarakat di rampok atas nama pembangunan. 

Masyarakat Adat Hubula terancam punah dari mereka Tanah Adatnya sendiri karena praktik kapital Birokrat tidak menghargai harkat & martabat masyarakat Hubula sedikit-pun, memang praktik seperti ini kejahatan luar biasa yang diciptakan oleh Pemerintah Kolonial Indonesia terhadap masyarakat Adat. 

Orang Hubula menjuluki Tanah sebagai ( Ninagosa ) artinya mama kehidupan, dan kalau melihat Tanah 108 hektar yang di rampas oleh Kapitalisme Birokrat tempat dimana masyarakat Wouma & Welesi bertani. Kapitalisme birokrat mengancam eksistensi kehidupan masyarakat Adat Wouma & Welesi dengan adanya tindakan perampokan Tanah Adat atas kepentingan Pembangunan Kantor Gubernur. Kapitalisme Birokat juga benar - benar menghancurkan relasi sosial mulai dari Struktur masyarakat Adat, klen Suku, Sub Marga dan lebih spesifik lagi dalam keluarga kecil. 

Kapitalisme Brokrat / Intelektual Pelacur seperti Wamendagri  Jhon Wempi Wetipo  dan Anggota MRPP Ismael Asso, mengancam nyawa Masyarakat Wouma dan Welesi demi kepentingan akumulasi modal tanpa menghormati serta menghargai ahli waris Tanah yang sedang mempertahankan Tanah Adat. 

Antek – antek Jakarta yang ada di Papua memang benar tidak ada niat baik bagi masyarakt Hubula lebih khususnya klan Suku Wouma, Welesi, dan klen suku kerabat yang ada di Hubulama karena dari tindakan agresif menentukan sifat keasliannya bahwa  benar - benar biadab. Tanah  masyarakat Adat Hubula di rampas paksa108 hektar, itu tanpa ada musyawarah dan mufakat bersama  dengan ahli waris Tanah dari  klan Suku  Wouma & Uelesi, hal itu menyebabkan masyarakat melakukan penolakan penempatan Kantor Gubernur Provinsi Papua Pegunungan.

#Boneka_Jakarta_Rakus
#Boneka_Perampok
#Masyarakat_Adat_terancam
#Tutup_Mata_Lawan_Balik
#PAPUA_BUKAN_TANAH_KOSONG

Sabtu, 22 Juni 2024

"Diantara Nafsu & Rakus"Boneka merampas Tanah Adat Hubula itu di dorong oleh kepentingan jabatan & kekuasaan.

Boneka merampas Tanah Adat Hubula itu di dorong oleh kepentingan jabatan & kekuasaan. Boneka jakarta dengan segala macam cara mengunakan untuk mendapatkan Tanah 108 hektar, tetapi faktanya masyarakat Adat sebagai ahli waris menolak karena kekawatiran masyarakat Adat kehilangan hak atas Tanah, Hutan, sumber pengetahuan Adat, dan sumber obat - obatan tradisional. 

Anggota MRP Papua Pegunungan Ismail Asso & Wempi Wetipo selaku (WAMEN) adalah aktor konflik agraria yang mendorong untuk penempatan kantor Gubernur tanpa melakukan analisis tentang masa depan masyarakat Adat. Anggota MRP Ismael Asso & Wakil Mentri Dalam Negeri Wempi Wetipo adalah aktor konflik & Kejahatan terhadap masyarakat Wouma, Welesi, dan pada umumnya masyarakat Adat Hubula di wamena. 

Ismael & Wempi juga bisa kita kategorikan sebagai kapital birokrat yang ada didalam sistem kolonialisme Indonesia untuk melanggengkan perampasan Tanah, penindasan, penghisapan, diskrimimasi dan marginalisasi terhadap masyarakat Adat. 

Dan Hak hidup masyarakat Suku Hubula walayah konfederasi Adat Wouma & Welesi terancam punah karena Tanah yang selalu memberi kehidupan terhadap masyarakat di rampok atas nama pembangunan. 

Masyarakat Adat Hubula terancam punah dari mereka Tanah Adatnya sendiri karena praktik kapital Birokrat tidak menghargai harkat & martabat masyarakat Hubula sedikit-pun, memang praktik seperti ini kejahatan luar biasa yang diciptakan oleh Pemerintah Kolonial Indonesia terhadap masyarakat Adat. 

Orang Hubula menjuluki Tanah sebagai ( Ninagosa ) artinya mama kehidupan, dan kalau melihat Tanah 108 hektar yang di rampas oleh Kapitalisme Birokrat tempat dimana masyarakat Wouma & Welesi bertani. Kapitalisme birokrat mengancam eksistensi kehidupan masyarakat Adat Wouma & Welesi dengan adanya tindakan perampokan Tanah Adat atas kepentingan Pembangunan Kantor Gubernur. Kapitalisme Birokat juga benar - benar menghancurkan relasi sosial mulai dari Struktur masyarakat Adat, klen Suku, Sub Marga dan lebih spesifik lagi dalam keluarga kecil. 

Kapitalisme Brokrat / Intelektual Pelacur seperti Wamendagri  Jhon Wempi Wetipo  dan Anggota MRPP Ismael Asso, mengancam nyawa Masyarakat Wouma dan Welesi demi kepentingan akumulasi modal tanpa menghormati serta menghargai ahli waris Tanah yang sedang mempertahankan Tanah Adat. 

Antek – antek Jakarta yang ada di Papua memang benar tidak ada niat baik bagi masyarakt Hubula lebih khususnya klan Suku Wouma, Welesi, dan klen suku kerabat yang ada di Hubulama karena dari tindakan agresif menentukan sifat keasliannya bahwa  benar - benar biadab. Tanah  masyarakat Adat Hubula di rampas paksa108 hektar, itu tanpa ada musyawarah dan mufakat bersama  dengan ahli waris Tanah dari  klan Suku  Wouma & Uelesi, hal itu menyebabkan masyarakat melakukan penolakan penempatan Kantor Gubernur Provinsi Papua Pegunungan..

#Boneka_Jakarta_Rakus
#Boneka_Merampok
#Boneka_Merampas 
#Masyarakat_Adat_terancam
#Tutup_Mata_Lawan_Balik
#PAPUA_BUKAN_TANAH_KOSONG

Selasa, 21 Mei 2024

Mahasiswa Korban Pengusuran Paksa Asrama Rusunawana dan Unit 1-6 Uncen Waena melakukan Aksi Mimbar Bebas dalam rangka Hut yang ke 3 tahun pengusuran.


Aksi Mimbar dilakuan oleh Mahasiswa Korban pengusuran paksa pada hari selasa 21 mei 2024 di Gapura Uncen Waena Jayapura Papua

Dalam Aksi Mimbar dari 9 BEM & DPMF  fakultas menghadiri bersama mahasiswa korban pengusuran paksa menyatakan sikap agar lembaga Universitas bertanggung jawab atas pelanggaran hak atas tempat tinggal Mahasiswa. Sebelum masa aksi dan Korlap turun ke titik aksi di gapura Uncen, pihak kepolisian sudah turun duluan dengan tujuan membubarkan aksi tersebut. 
Aksi melakukan oleh Mahasiswa Korban Pengusuran Paksa dalam rangka memperingati 3 tahun pengusuran paksa yang dilakukan oleh Lembaga Uncen, Pekan Olarag Nasional (PON XX), dan dibantu aparat TNI/POLRI. Mahasiswa Korban Pengusuran Paksa membawah tuntutan " Lemba Uncen memberikan Pengakuan agar mahasiswa menghuni kembali ke Asrama". 

Dalam aksi berlansung terjadi saling baku tarik dengan Aparat kepolisian dan aparat memberikan pembatasan terhadap Waktu Kalau Aksi hanya 2 jam di Gapura Uncen. Pihak kepolisian juga memaksa bahwa aksi harus dilakukan di samping pos sekurity dan tidak memalang kampus dengan alasan bahwa di fakultas Teknik ada tes polisi. Maka korlap arahkan massa ke samping Pos Security akhir kawan - kawan aksi itu dilakukan selama 2 jam dan polisi terus desak agar cepat bubar dari titik aksi.

Hal ini kalau kita melihat bahwa kepolisian melawan hukum & Undang - undang No. 09 tahun 1998  tentang menyampaikan Pendapat di muka umum secara lisan maupun & tertulis. Pihak kepolisian Kota Jayapura tidak menunjukan sikap profesionalisme dengan negosiasi yang demokratis. Tetapi pihak kepolisian Kota Jayapura tunjukan sikap dan watak arogansi yang berlebihan terhadap massa aksi dengan tindakan pemaksaan serta intervensi sewenang - wenang. 

#Hidup_Mahasiswa_Uncen
#Tanah_Air_Milik_Kita
#Tutup_Mata_Lawan_Balik

Kamis, 16 Mei 2024

Aksi Protes atas rencana Pemindahan Makam Tokoh Politik (Theys H Eluay) oleh Bupati Jayapura Triwarno Purnomo, S.STP., M.Si.

FRONT MAHASISWA DAN RAKYAT PAPUA 
MENOLAK WACANA PEMINDAHAN MAKAM THEYS HIYO ELUAY. 

Aksi protes atas rencana pemindahan Makam Theys Hiyo Eluay dilakukan pada hari kamis 16 Mei 2024 di Kantor Bupati Jayapura. 
Aksih protes dilakukan oleh Front Mahasiswa dan Rakyat Papua dengan tujuan menolak rencana pemindahan Makam Tokoh Politik Rakyat Papua ( Theys Hiyo Eluay)PJ oleh Bupati Jayapura Triwarno Purnomo, S.STP., M.Si. 

Rakyat Papua melihat rencana pemindahan makam Tokoh Politik Theys Eluay, merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan karena Pemerintah jayapura  sebagai kaki tangan Jakarta tidak menghormati harkat & Martabat Pahlawan. Dan yang berikut rakyat Papua menilai adalah hal ini upaya negara untuk penghilangan rekam jejak pelanggaran HAM yang dilakukan selama ini terhadap Orang Papua. 

Dalam Antropologi dan Etnografi orang Papua melihat Ondofolo itu patut di Hormati dan di hargai sekalipun dia meninggal dunia. Dalam Struktur sosial masyarakat Suku Sentani telah menghormati Theys Hiyo Eluay sebagai Ondofolo yang memiliki wilayah Adat, Hukum Adat, struktur Adat, Masyatakat Adat dan miliki nilai atau kepercayaan tentang ketuhanan. 


Theys tidak dipandang hanya Ondofolo besar Suku Sentani tetapi dia juga salah satu tokoh perjuangan Kemerdekaan Rakyat Papua yang di bunuh oleh negara Kolonialisme Indonesia pada 10 November 2001 di Km 9 Desa Koya, Kec. Abepura Jayapura Papua.  Theys di bunuh karena Perjuangan Pembebasan Nasional bagi bangsa Papua, pada tahun 1998 sampai tahun 2000 Theys memimpin perjuangan Bangsa Papua tetapi Theys terakhir mati di tangan penjajah. 

Pada waktu rezim soeharto terjadi pembungkaman ruang demokrasi, teror, intimidasi, penangkapan, penembakaan sewenang - wenang tetapib Theys Hiyo Eeluay berhasil mengerakan dan membangkitkan semangat perlawanan rakyat dari sorong sampai merauke. Theys salah satu Tokoh yang muncul mematakan sigma yang di bangun oleh negara kolonialisme seperti  orang gunung & pante tetapi mempersatukan seluruh rakyat Papua dengan perjuangan Kemerdekaan yang dia perjuangkan. 

Dengan melihat sejarah perjuangan Theys H Eluay sebagai pelopor bangsa waktu itu, kami rakyag Papua hari ini patut menghormati dan Aksi protes bagian dari penghormatan terhadap para Pahlawan Bangsa. 

Aksi Front Mahasiswa Dan Rakyat Papua Menolak Wacana Pemindahan Makam Theys Eluay, menyatakan  sikap sebagai berikut;

1. Bupati Jayapura Triwarno Purnomo, S.STP., M.Si. hentikan rencana Pemindahan Makam Tokoh Politik Bangsa Papua ( Theys Hiyo Eluay )!
2. Bupati Triwarno Purnomo, S.STP., M.Si. segera bertanggung Jawab atas merendahkan harkat dan martabat Ondofolo (Theys H Eluay) karena rencana pemindahan Makam merupakan bentuk Kejahatan Kemanusiaan! 
3. Negara Kolonialisme Indonesia agar segera bertanggung jawab atas Pembunuhan Tokoh Politik Rakyat Papua (Theys H Eluay)!
4. Negara Kolonialisme Indonesia agar segera menyelesaikan setiap rentetan Pelanggaran HAM yang terjadi diatas Tanah Papua!
5. Negara Kolonialisme Indonesia agar segera memberikan Hak Menentukan Nasip Sendiri (HMNS), sebagai solusi demokratis bagi Bangsa West Papua!

Korlap Umum 
Etho Tokoro

Rabu, 01 Mei 2024

ULMWP Menolak Aneksasi West Papua pada 1 Mei 1963 oleh UNTEA Kepada Negara Kolonialisme Indonesia.

 INDONESIA ANEKSASI WEST PAPUA: 
 1 MEI 1963 ILEGAL 
 BANGSA PAPUA MEMPUNYAI HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI 

 Situasi West Papua Zona Darurat Kemanusiaan 

 Syukur Bagi-Mu Tuhan! 

Hari ini 1 Mei 2024, bangsa Papua memperingati 61 tahun (1 Mei 1963-2024) tragedi aneksasi hak politik bangsa Papua oleh pemerintah kolonial Indonesia melalui bantuan Pemerintah Amerika Serikat, Belanda dengan menggunakan tangan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami hari ini juga kembali menegaskan bahwa Papua Barat (West Papua) sesungguhnya bukan bagian dari wilayah Republik Indonesia, karena:

 a). Secara historis Papua Barat bukan bagian dari Hindia Belanda. Pada tanggal 24 Agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana (Pantai Selatan Tanah Papua) diproklamasikan penguasaan Papua Barat oleh Sri Baginda Raja Nederland, 

b). Walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus-secara terpisah, 

c). Bangsa Papua tidak mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, 

d). Dalam pertemuan antara wakil-wakil Indonesia dan penguasa Perang Jepang di Saigon pada tanggal 12 Agustus 1945 Mohammad Hatta menegaskan bahwa "...bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa Melanesia, maka biarlah bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri...". Sementara Ir. Soekarno mengemukakan bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. 

Hal yang sama pernah dikemukakan Drs. Mohammad Hatta dalam salah satu persidangan BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) bulan Juli 1945; 

a). Papua Barat tidak termasuk di dalam daerah-daerah yang diproklamirkan sebagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,

b). Dalam konferensi Meja Bundar tanggal 23 Agustus 1949 - 2 November 1949 status Papua Barat (Nederlands Niew Guinea) secara eksplisit dinyatakan oleh Mohammad Hatta, Ketua Delegasi Indonesia, bahwa " masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan karena bangsa Papua berhak menjadi bangsa yang merdeka. "

Kehendak yang suci dan luhur bangsa Papua untuk memiliki negaranya sendiri ternyata ditanggapi dengan tindakan aneksasi pemerintah Indonesia melalui pengomandoan Trikora oleh Presiden Soekarno pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Fakta bahwa Presiden Indonesia memerintahkan “... Gagalkan Pembentukan Negara Boneka Papua buatan Belanda Kolonial..." sudah merupakan pengakuan eksplisit tentang adanya sebuah Negara .

 Trikora semakin memperuncing konflik antara Belanda dan Indonesia mengenai status politik tanah Papua Barat. Adanya perang dingin antara blok Barat dan blok Timur (komunis), dan semakin eratnya hubungan Indonesia dengan negara-negara blok Timur, sebagaimana yang tertera dalam surat Rahasia Presiden Amerika Serikat, J.F. Kennedy kepada Perdana Menteri Belanda, Dr.J.E. de Quay tanggal 2 April 1962, mengakibatkan Belanda tunduk pada tekanan politik Amerika Serikat untuk menandatangani persetujuan dengan Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1962.

Persetujuan ini disebut dengan New York Agreement. Isi New York Agreement, termasuk pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri bangsa Papua untuk memilih: 

a). Apakah mereka ingin tetap bergabung dengan Indonesia, atau 

b). Apakah mereka ingin memutuskan hubungan mereka dengan Indonesia, tidak pernah dipersoalkan.

Tetapi tanpa pernah meminta keterlibatan dan persetujuan rakyat dan pemimpin bangsa Papua sejak 1 Mei 1963 pemerintah Indonesia mengurus atministrasi dan mulai menempatkan pasukan- pasukan meliternya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua. Mereka berasal dari semua Kodam dan seluruh Angkatan TNI dan Polri. Akibatnya, hak-hak politik dan hak-hak azasi manusia Papua telah secara brutal diluar batas-batas perikemanusiaan.

Beberapa di antarany adalah pembunuhan secara kilat, penguburan hidup-hidup, pembunuhan terhadap korban yang terlebih dahulu disuruh menggali kuburnya sendiri, pembunuhan ayah yang kemudian dagingnya dibakar dan dipaksakan untuk dimakan oleh istri dan anak-anaknya, pembunuhan dengan cara diikat dan ditenggelamkan ke dalam laut, dibuang dari helicopter, diciduk dari rumah dan tidak pernah kembali. Berbagai bentuk penyiksaan dilakukan terhadap bangsa Papua yang korbannya masih hidup sampai sekarang. Ada yang disiksa dengan cara memasukkan besi panas ke dalam lubang anus, digantung dengan kepala ke bawah dan disundut dengan api rokok, disetrum, diteror, dijemput malam hari, dan lain-lain. Para wanita juga mengalami perlakuan keji dan amoral.

Pemerkosaan terjadi dimana-mana, termasuk pada anak wanita di bawah umur. Suami dan istri dipaksa bersetubuh di muka umum. Ada yang setelah diperkosa ditusuk alat kelaminnya dengan bayonet atau kayu. 
Selain itu, terjadi banyak penahanan tanpa proses peradilan terhadap mereka yang dicurigai menentang keinginan pemerintah Indonesia untuk memasukkan Papua Barat sebagai bagian dari wilayahnya. 

Mereka juga membakar rumah- rumah rakyat, kebun-kebun masyarakat dirusak, serta bangunan-bangunan gereja dibakar dan dihancurkan. Mereka yang tidak berpengaruh, tidak dipaksa dengan cara kekerasan namun dibujuk dengan berbagai sogokan dalam bentuk uang, barang, jabatan maupun perempuan. 

Perbuatan- perbuatan keji dan biadab ini semakin memuncak menjelang pelaksanaan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) dan terus berlangsung sesudah PEPERA. Tujuannya adalah untuk membungkam aspirasi murni dan kehendak bangsa Papua untuk menentukan nasibnya sendiri pada tahun 1969 dan seterusnya.

Keterlibatan pihak militer Republik Indonesia dalam pelaksanaan PEPERA sangat dominan. Tidak saja bahwa militer Indonesia terlibat dalam intimidasi terhadap penduduk, tetapi militer terlibat dalam pengaturan pelaksanaan PEPERA. Misalnya, Surat Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego Soemarto, No.: r-24/1969, Perihal: Pengamanan PEPERA, tanggal 8 Mei 1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku Anggota Muspida Kabupaten Merauke. Isi surat tersebut antara lain menyatakan: "... Apabila pada masa poling tersebut diperlukan adanya penggantian anggota DEMUS, penggantiannya supaya dilakukan jauh MUSYAWARAH PEPERA.”

Militer Indonesia bukan hanya menjadi tulang punggung terdepan dalam operasi pendudukan West Papua dan memenangkan pelaksanaan PEPERA  pada 1969 dimasa lalu tetapi juga selama 61 tahun dalam seluruh konflik di West Papua, Militer Indonesia telah menjadi alat utama dalam politik pendudukan Indonesia di West Papua.  Sejak Mei 1963-Mei 2024, telah terjadi lebih dari 20 kali operasi militer pada orang Papua di West Papua. Dalam 20 tahun ini khususnya pasca aksi perlawanan rasisme rakyat West Papua pada 2019  eksistensi militer Indonesia di West Papua terus diperkuat. Kami terus mengikuti dan menyaksikan pendropan dan penambahan personil serta pengembangan baru infrastruktur militer yang sangat pesat di pusat ibu kota kabupaten atau provinsi mapun di pos pedalaman wilayah terpencil, perbatas serta wilayah konflik. 

Dalam 20 tahun ini penambahan struktur militer terus terjadi pada TNI Angkatan Darat, Angkatan laut dan Angkatan Udara. Misalnya pada TNI Angkatan Darat terjadinya penambahan baru KODAM, PANGKOWILHAN, KOSTRAD, KOREM, KODIM, BATOLYON dan KORAMIL. Penambahan struktur baru pada TNI Angkatan Laut, penambahan LANTAMAL, KOMANDO Armada (Koarmada) dan Markas Komando Pasukan Marinir. 

Demikian juga penambahan struktur baru di TNI AU, LANUD, KOOPSAU, KOPSUD,  Satuan Radar dan pembanbahan satuan TNI AU lainnya. Fakta jumlah kehadiran Milter Indonesia saat ini di West Papua tidak sebanding dengan jumlah penduduk orang asli Papua. Konflik West Papua bukan mencarikan jalan keluar melainkan dijadikan ajang kompetisi untuk kepentingan kekuasaan, pangkat dan jabatan serta kepentingan bisnis ekonomi mereka di West Papua. 

Pada kurun waktu yang sama, Polisi juga memperkuat eksistensinya di West Papua dengan terus melakukan penambahan ribuan personil dan membangun infrastruktur baru, POLDA, POLRES, POLSEK dan satuan Pasukan BRIMOB.

Pembungkaman ruang demokrasi dan kebebasan, penangkapan dan penembakan warga sipil dengan aneka tuduhan menjadi pilihan polisi dalam penanganan konflik Politik di West Papua. Banyak para aktifis dan pejuang Papua serta Warga sipil menjadi korban penembakan dan pembunuhan aparat Polisi dengan melakukan kriminalisasi dan makarnisasi sebagai dalil pembenaran diri. Dari waktu ke waktu Polisi Indonesia di West Papua selalu mengenakan pasal-pasal makar untuk menjerat dan membungkam para pejuang bangsa Papua.  

Selain pemekaran atministrasi TNI/Polri, pemerintah kolonial Indonesia juga terus melakukan pemekaran wilayah atministrasi sipil Indonesia. Pemekaran wilayah atministrasi Indonesia di West Papua jelas-jelas melegalkan dan mempercepat dalam praktek politik pendudukan Indonesia.  

Melalui pemekaran Provinsi dan Kabupaten/kota di West Papua mempercepat migrasi sipil warga migran Indonesia  secara massif, sistematis dalam jumlah besar masuk menguasai di Tanah ini. Semua kebijakan pemekaran Papua selama ini dilandasi oleh sentiment rasisme dan semata-mata untuk menduduki serta menguasai wilayah West Papua dan manusianya. Warga migran Indonesia bukan hanya menguasai dan mengambil alih wilayah pemerintahan sipil melainkan mereka juga memonopoli hak politik orang Papua. Beberapa wilayah Kabupaten dan Provinsi serta perwakilan parlemen didominasi oleh elit politik dari Indonesia. Belakangan ini mereka juga mulai bersiap-siap untuk mengambil alih sebagai calon Bupati/Wali kota di berbagai Kabupaten/kota di West Papua.
Pelaksanakan Otonomi Khusus Jilid I, tahun 2001-2021 pemerintah Indoneseia telah gagal total melaksanakannya di West Papua.  Dalam kurun waktu 23 tahun (2001-2024), pemerintah tidak memberikan proteksi perlindungan, keberpiahan dan pemberdayaan dalam berbagai aspek kehidupan orang Papua.  Revisi sepihak dan penetapan paksa Otonomi Khusus Jilid II pada 2021 oleh Pemerintah Indonesia jelas-jelas memberikan ruang secara terbuka migrasi dan pengambil-alihan hak politik rakyat West Papua. Undang-undang ini juga membuka lebar pintu masuknya warga non Papua menduduki dan menguasai wilayah West Papua.   

Situasi ini telah berlangsung sejak 1 Mei 1963. Saat ini 7 wilayah di West Papua masih berkonflik antara TPNPB dengan TNI/Polri yang berdampak pada jatuhnya korban nyawa dari para pihak serta warga sipil. Sekitar 75.000 waktu sedang mengungsi dalam 5 tahun terakhir ini.
Hukum dan kekuasan pemerintah kolonial Indonesia menjadikannya sebagai alat untuk menjerat dan menindas rakyat bangsa Papua.

Bertolak pada fakta dan hasil investigasi dari berbagai lembaga yang publikasikan telah menyimpulkan bahwa bangsa Papua dalam 61 tahun pendudukan Indonesia pada bangsa Papua di West Papua sedang mengalami ancaman Genosida, Etnosida dan Ekosida . Ke depan secara cepat atau lambat, bangsa Papua dalam pendudukan Indonsia akan punah sebagaimana yang dialami oleh berbagai suku asli diberbagai wilayah akibat kejahatan kemanusiaan, pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia), eksploitasi masif, yang dipraktekan oleh kolonial melalui operasi militer secara tebuka dan tertutup serta berbagai kebijakan mereka.  Dalam konteks ini, bangsa Papua tidak mempunyai masa depan dengan Indonesia. 
Maka berangkat dari fakta 61 tahun pendudukan Indonesia dan demi penyelamatan masa depan Bangsa Papua,  hari ini rakyat Papua melakukan aksi protes terbuka pada 5 kota dan kabupaten di Tanah Papua dan 3 kota di Indonesia. Untuk itu kami menyerukan dan menyampaikan Sikap:

1. Tidak Sah semua klaim yang dibuat oleh pemerintah Indonesia mengenai status tanah Papua sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia karena tidak memiliki bukti- bukti sejarah yang otentik, murni dan sejati dan bahwa bangsa Papua Barat telah sungguh-sungguh memiliki Kedaulatan sebagai suatu bangsa yang Merdeka sederajat dengan bangsa- bangsa lain di muka bumi sejak tanggal: 1 Desember 1961.

2. Rakyat  West Papua secara tegas menolak hasil-hasil PEPERA 1969 karena dilakukan atas dasar New York Agreement yang cacat moral dan cacat hukum. Dilaksanakan dalam suasana penindasan di luar batas-batas perikemanusiaan, peniadaan hak dan kebebasan berpendapat bangsa Papua, dan dilakukan dengan cara-cara yang represif dan tidak demokratis.

3.  West Papua Zona Darurat Militer, segera Hentikan Operasi Militer di West Papua dan Tarik Militer Organik dan Non Organik dari West Papua.

4. TPNPB (West Papua) dan TNI/Polri (Indonesia), segera lakukan Gencatan Senjata demi mewujudkan Perundingan Politik yang dimediasi oleh phak ketiga yang Netral.
 
5. Indonesia segera buka akses terhadap Jurnalis  Internasional masuk di West Papua.

6. Indonesia segera menempatinya janjinya kepada Ketua Dewan HAM PBB di Jakarta pada 2018 untuk memberikan akses kunjungan Dewan HAM PBB di West Papua. 

7. Bangsa Papua mendukung penuh perjuangan kaum buruh diseluruh dunia  demi memperoleh penghormatan, harkat dan martabat dan pengakuan peran kaum buruh dalam pembangunan ekonomi dan sosial global.

8. Segera berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri melalui Refrendum di Papua Barat sebagai solusi paling demokratis guna mengakhiri segala macam konflik di atas Tanah Papua.

Demikian Penyataan Sikap ini dapat kami keluarkan pada momentum peringatan 61 tahun aneksasi hak politik bangsa Papua oleh Pemerintah Kolonial Indonesia.

Jayapura, West Papua, 1 Mei 2024 

 United Libertion Movement for West Papua-ULMWP 
 Departemen Politik 

Jerry Wenda (Korlap Umum)

Kamus Bayage (Wakorlap)

Penanggungjawab Politik -ULMWP 
 Mengetahui, 

 Menase Tabuni 
Presiden Ekswkutif

#ULMWP
#Aneksasi1mei1963
#WestPapua

Rabu, 10 April 2024

Mahasiswa HMPJ dan Ikatan ELIMA menolak pembangunan kantor Korem TNI, di Wamena.


Masiswa/I HMPJ & ELIMA Kota Studi Jayapura menolak wacana pembangunan kantor Korem TNI, di Wamena Kabupaten Jayawijaya Distrik Muliama Kampung Kewin, di Jayapura pada (10/04/2024). 

"Ketua HMPJ (Naila Siep) Mengatakan, menolak dengan tegas karena kehadiran Kantor Korem TNI di kabupaten Jayawijaya Distrik Muliama Kampung Kewin, bukan membawah perubahan buat masyarakat yang baik."

Siep mengatakan; "Melihat dengan banyak rentetan Histroris lama orang wamena selalu  mandi darah dan setiap persoalan belum pernah ada penyelesaian persolan pelangaran HAM. Kalau melihat aktor kejahatan kemanusiaan di Wamena yang sama maka, kami menolak dengan tegas! Kami mahasiswa sangat tidak butuh kehadiran Kantor Korem TNI di Kabupaten Jayawijaya Distrik Muliama Kampung Kewin"

"Pemerintah Kabupaten Jayawijaya bisa memperhatikan Pembangunan Kantor Korem di Muliama karena suara mayoritas menolak. Jika pernyataan kami tidak didengarkan oleh institusi TNI dan Pemerintah maka kami akan lakukan aksi dalam bentuk apapun." Kata Naila Siep 

Salah satu mahasiswa Ahli Waris Tanah Adat Muliama atas nama Eman Elopere mengatakan, "kami mewakili ahli waris menolak dengan tegas atas pembangunan kantor korem TNI! Kami sebagai ahli waris tahan  tidak dilibatkan maka kami monolak. Dan juga kami tau persis watak TNI yang selalu ciptakan konflik, dengan itu kami menolak segala bentuk tawaran."

"Kata Elopere, Apa bila pernyataan kami tidak di tindak lanjuti maka kami akan mobilisasi masyarakat menduduki Kodim karena seluruh masyarakat Muliama menolak kehadiran pembangunan Kantor korem TNI di Distrik Muliama Kampung Kewin."

Salah satu anggota Ikatan ELIMA atas nama Tanus Elopere mengatakan, "Kami menilai bahwa kehadiran pembangunan kantor Korem di muliama, sesunggunya bukan membangun manusia melainkan membungkam ruang kebebasan masyarakat." 

"Kami meminta anak asli muliama statusnya anggota TNI yang menjadi jembatan, agar bisa berpikir untuk usaha pertanian atau hal lain untuk memberi keuntungan bagi masyarakat setempat." Katanya Tanus Elopere


Melihat dengan wacana pembangunan kantor Korem TNI di Wamena kabupaten Jayawijaya Distrik Muliama kampung Kewin, merupakam boncengan kepentingan politik pendudukan dan perluasan basis militer. Rakyat wamena kabupaten Jayawijaya memiliki rekam jejak cukup banyak Karena setiap tahun masyarakat mandi darah karena Aktor yang melanggengkan kejahatan kemanusiaan di wamena papua adalah TNI/POLRI.

Kami merasa muak dengan tindakan represif TNI/POLRI sangat masif di Wamena karena operasi SENYUM Tahun 1977, operasi MAMPENDUMA 1998,Tahun 2000,2001,2002,2003 wamena berdarah,Tahun 2019 Rasisme, 2023 penembakan terhadap 12 warga sipil tewas, dan banyak operasi yang dilakukan dengan acktor yang sama yaitu TNI / POLRI.

Dengan melihat album sejarah kami yang mengerikan maka kami Mahasiswa/I menolak dengann tegas:

  1. Kami mengutuk keras terhadap Oknum yang menjadi jembatan unutk pembangunan KOREM TNI di Muliama Kampung kewin!

  2. Kami menolak tegas pembangunan KOREM TNI di kampung kewin,distrik Muliama pada umumnya di kabupaten jayawijaya!

  3. Pembangunan Kantor KOREM TNI mengancam eksistensi kehidupan bagi masyarakat muliama kampung kewin dan sekitarnya!

  4. Masyarakat adat distrik Muliama kampung kewin dan sekitarnya membutukan Sumber Daya Manusia (SDM), bukan kantor KOREM TNI !

  5. Stop membangun KOREM TNI di atas Tanah Adat kami. Muliama (kewin) bukan tanah kosong!

  6. Jika pernyataan kami tidak di dengarkan oleh Institusi TNI & Pemerintah, maka kami mahasiswa akan mobilisasi masa lebih besar menduduki Kodim 1702 Kabupaten Jayawijaya. 


Rabu, 13 Maret 2024

𝗠𝗜𝗡𝗨𝗠𝗔𝗡 𝗞𝗘𝗥𝗔𝗦, 𝗕𝗘𝗥𝗨𝗝𝗨𝗡𝗚 𝗗𝗨𝗔 𝗡𝗬𝗔𝗪𝗔 𝗠𝗘𝗟𝗔𝗬𝗔𝗡𝗚 𝗗𝗜 PASAR 𝗠𝗜𝗦𝗜 𝗗𝗔𝗡 𝗥𝗨𝗠𝗔𝗛 𝗦𝗔𝗞𝗜𝗧 𝗨𝗠𝗨𝗠 𝗪𝗔𝗠𝗘𝗡𝗔 PADA 13 MARET 2024.

𝙎𝙚𝙡𝙪𝙧𝙪𝙝 𝙥𝙖𝙨𝙞𝙚𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙋𝙚𝙩𝙪𝙜𝙖𝙨 𝙠𝙚𝙨𝙚𝙝𝙖𝙩𝙖𝙣 𝙙𝙞 𝙐𝙂𝘿 𝙍𝙪𝙢𝙖𝙝 𝙎𝙖𝙠𝙞𝙩 𝙐𝙢𝙪𝙢 𝙒𝙖𝙢𝙚𝙣𝙖  𝙧𝙖𝙨𝙖 𝙥𝙖𝙣𝙞𝙠 𝙙𝙖𝙣 𝙩𝙧𝙖𝙪𝙢𝙖.

==============================
𝘼. 𝙆𝙚𝙟𝙖𝙙𝙞𝙖𝙣 𝙙𝙞 𝙒𝙤𝙪𝙢𝙖

Pada tanggal 13 Marat 2024, terjadi pembunuhan, di Pasar Wouma, Desa Ketimavit Distrik Wouma Kabupaten Jayawijaya. Provinsi.Papua Pegunungan.

Sekitar jam 07.00 Wit, saya bersama stap Forum Pemberantasan Miras,Narkoba, ganja dan adiktif lainnya, datang melihat Tempat Kejadian perkara di pasar misi Wouma. Karena korbannya telah di Evakuasi oleh Anggota Polres Jayawijaya ke Rumah Sakit Umum Wamena.

Sehingga kami melanjutkan perjalanan menuju ke UGD, disana kami melihat ada korban atas nama Sisa Wolom, yang sedang dirawat diruangan tindakan oleh petugas Kesehatan.

Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju kepada keluarga korban pertama atas nama Oben Wenda, di Maplima, Desa Kitimavit Distrik Wouma, disana kami  bertemu dengan keluarga korban. Dan tenangkan masa yang berkumpul, lalu saya sampaikan bahwa, saya belum mengetahui kejadian ini seperti apa, sehingga Bapak datang Cek atas peristiwa ini, keluarga korban minta  dan mengusulkan untuk mengecek pelaku korban pertama. karena kami korban pertama.

Setelah berdiskusi dengan, keluarga korban pertama, kami juga berusaha bertemu dengan keluarga korban ke dua.lalu tenangkan, agar tidak terjadi tindakan pembalasan. 

Kami juga sempat bertanya kepada korban atas mama Sisa Wolom, korban yang sedang berbaring, dan ia mengaku  mereka mengkomsumsikan miniuman Keras dengan beberapa orang di missi.

𝘽. 𝙆𝙤𝙧𝙗𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙩𝙞𝙠𝙖𝙢 𝙙𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙣𝙞𝙣𝙜𝙜𝙖𝙡  𝙙𝙞 𝙍𝙪𝙢𝙖𝙝 𝙎𝙖𝙠𝙞𝙩 𝙐𝙢𝙪𝙢 𝙆𝙖𝙗𝙪𝙥𝙖𝙩𝙚𝙣 𝙅𝙖𝙮𝙖𝙬𝙞𝙟𝙖𝙮𝙖

Sekitar pukul 06: 26 Wit, pada sore terjadi  pembunuhan pembalasan dari pihak keluarga korban Obe Wenda, 26 Tahun, Keluarga korban, melakukan penyerangan terhadap Sisa Wolom yang sedang mejalani perawatan di Rumah Sakit Unum ( UGD ) Kabupaten Jayawijaya.

Akibat dari penyerangan yang dimaksud, sisa mengalami beberapa tikaman di bagian Tubuh, sehingga menyebabkan menghabiskan napasnya di atas tempat tidur di Rumah Sakit Umum Jayawijaya. 

Sebenarnya,  Rumah sakit tidak boleh melakukan tindakan anargis 

𝘾. 𝙋𝙖𝙨𝙞𝙚𝙣 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙖𝙡𝙖𝙢𝙞 𝙧𝙖𝙨𝙖 𝙩𝙖𝙠𝙪𝙩 𝙙𝙖𝙣 𝙏𝙧𝙖𝙪𝙢𝙖 𝙡𝙖𝙡𝙪 𝙥𝙪𝙡𝙖𝙣𝙜 𝙠𝙚 𝙧𝙪𝙢𝙖𝙝 
 
Pihak Wenda melakukan penyerangan di rumah Sakit umum Wamena ( UGD ). sekitar 06;26. para seluruh Pasien  yang  sedang berada di rumah sakit mengalami rasa takut dan terauma, tiba-tiba  seluruh pasien  pulang kerumah masing. 

𝘿. 𝙐𝙣𝙨𝙪𝙧 𝙋𝙚𝙢𝙞𝙢𝙥𝙞𝙣 𝙆𝙖𝙗𝙪𝙥𝙖𝙩𝙚𝙣 𝙅𝙖𝙮𝙖𝙬𝙞𝙟𝙖𝙮𝙖 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙗𝙚𝙧𝙥𝙚𝙧𝙖𝙣 𝙖𝙠𝙩𝙞𝙛. 

Ketika saya hadir pagi-pagi di Tempat Kejadian Perkara, tak seorangpun pemimpin dari Kabupaten Jayawijaya,  yang mengambil bagian untuk meredahkan situasi pada hari ini.

Mungkin karena pemerintah Kabupaten dan Provinsi papua Pegunungan menganggap kasus pembunuhan yang dimaksud masalah kecil, Sehingga pemerintah provinsi dan Kabupaten tidak menggambil bagian. Seharusnya seorang pemimpin  harus dan wajib kendalikan situasi kantibmas. 

                                  Wamena,13-03-2024

1.𝙋𝙚𝙢𝙗𝙚𝙡𝙖 𝙃𝙖𝙢 𝙙𝙞 𝙏𝙖𝙣𝙖𝙝 𝙋𝙖𝙥𝙪𝙖
2.𝘿𝙞𝙧𝙚𝙠𝙩𝙪𝙧 𝙔𝙖𝙮𝙖𝙨𝙖𝙣 𝙆𝙚𝙖𝙙𝙞𝙡𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙆𝙚𝙪𝙩𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙈𝙖𝙣𝙪𝙖𝙞𝙖 𝙋𝙖𝙥𝙪𝙖 ( 𝙔𝙆𝙆𝙈𝙋).
3.𝙆𝙚𝙩𝙪𝙖 𝙁𝙤𝙧𝙪𝙢 𝙥𝙚𝙢𝙗𝙚𝙧𝙖𝙣𝙩𝙖𝙨𝙖𝙣 𝙈𝙞𝙧𝙖𝙨 𝙙𝙖𝙣 𝙉𝙖𝙥𝙯𝙖 𝙋𝙧𝙤𝙫𝙞𝙣𝙨𝙞 𝙋𝙖𝙥𝙪𝙖 𝙋𝙚𝙜𝙪𝙣𝙪𝙣𝙜𝙖𝙣

Sumber: Theo Hesegem

Kamis, 07 Maret 2024

Sadarlah Kau Cara Hidupmu yang Hanya Menelan Korban Yang lain! Musnahnya Pemilik Negeri dari kedatangan Bangsa Asing!

Sadarlah Kau Cara Hidupmu yang Hanya Menelan Korban Yang lain!
 Musnahnya Pemilik Negeri dari kedatangan Bangsa Asing!
 *I. 114 Tahun Kota Jayapura. Dimanakah        Engkau berada?*

Sekiranya syair lagu musisi Black Brothers ini layak dilantun bersama hari ini ketika mengenang dan memperingati 114 tahun HUT Kota Jayapura. Sembari melantunkan syair lagu tadi, pertanyaan sederhanya adalah pada saat Anda memperingati 114 tahun, apa yang anda pikirkan tentang nasib pemilik tanah Port Numbay? Dimanakah kini orang Port Numbay berada? Dimana posisi orang Papua lainnya di Tanah ini? Bagaimana nasib suku-suku asli diberbagai belahan dunia lain setelah orang Eropa tiba di wilayah mereka? Bertepatan HUT ke 114, saya coba membagikan tulisan ini sebagai bahan refleksi bersama dengan mengacu pada fakta sejarah masa lalu dan melihat masa depan orang asli Port Numbay di Tanah leluhur mereka. 

Pada 1903, Pemerintah Belanda untuk pertama kalinya membuka pos pemerintahan di dekat kali Imbi Kota Jayapura. Sejak dibukanya pos pemerintahan telah terjadinya migrasi warga Eropa dan Asia (Indonesia) masuk di Kota Jayapura. Migrasi semakin meningkat ketika Pos Penginjilan dan Sending di buka di Kota ini. Migrasi dalam rangka penginjilan warga dari beberapa wilayah basis Kristen dari Indonesia seperti Toraja, Manado, Sanger, Batak, Jawa Tengah, Maluku dan Nusa Tenggara Timur membantu para Pendeta dan Pastor di Kota ini. 

Sekalipun kesepakatan pembagian wilayah pelayanan di Papua antara Misi Katolik di wilayah Gunung-Selatan dan Sending GKI wilayah Gunung-Utara telah dicabut pada 1927 tetapi memasuki pada 1929 Gereja Katolik dilarang membangun pos di Kota Jayapura. Para misionaris Katolik diarahkan untuk membuka Pos penginjilan di wilayah pedalaman, Arso dan Waris (Keerom). Memasuki 1930, Gereja Katolik mulai membuka pos penginjilan (Gereja) di Kota Jayapura. 

Pada 1950 Pemerintah Belanda membuka Masjid pertama di Kota Jayapura tepatnya di ujung Jalan Percetakan. Masjid ini dibangun oleh pemerintah Belanda bagi warga migran dari Indonesia (Jawa dan Sulawesi).

Pada 1930 warga trans dari Jawa tiba di Jayapura dan ditempatkan di Sabron, yang kemudian dikenal dengan lokasi Kerto Sari. 

Pada 1962, warga migran Indonesia dan Belanda di Kota Jayapura sekitar 2.200 orang. Pemerintah Belanda mulai 1949-1961 mulai menggalang pembangunan dalam rangka mempersiapkan Papua Merdeka. 

Dalam kurun waktu tersebut pemerintah Belanda menggalang bidang pembangunan, pelatihan kerja bagi orang Papua. Pada 1961-1971 pemerintah Belanda berencana menyiapkan orang Papua dalam bidang Politik dan pemerintahan. Pada 1971, pemerintah Belanda berencana menyerahkan sepenuhnya kedaulatan kepada orang Papua untuk merdeka dan berdaulat. Namun rencana pemerintah belanda digagalkan oleh pemerintah Indonesia dengan bantuan pemerintah Amerika Serikakat melalui PBB.

Migrasi penduduk di Kota Jayapura dan Papua semakin meningkat pasca Mei 1963. Kota Jayapura sebagai ibu Kota Provinsi menjadi tujuan Migrasi penduduk dari Indonesia maupun migrasi lokal dari Papua. 

Sampai dengan memasuki awal tahun 2024, akibat migrasi penduduk Kota Jayapura orang asli Port Numbay menjadi minoritas. Berdasarkan data yang dimiliki Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Kota Jayapura, saat ini jumlah penduduk Orang Asli Port Numbay hanya 2,84 persen, dari total penduduk di Kota Jayapura atau hanya ada 11.949 jiwa yang tersebar di  5 Distrik. Diakui bahwa telah terjadi migrasi dan pembangunan selama 60 tahun ini tetapi tidak membawa dampak perubahan positif bagi penduduk setempat orang Port Numbay namun sebaliknya membawa dampak positif kepada warga migran non Papua dan non orang asli Port Numbay di tanah Port Numbay. 

Kepemilikan tanah, 80% tanah lahan produktif yang ada di Port Numbay telah beralih tangan dan fungsi. Lebih dari 80 Persen tanah di kota Jayapura di duduki dan di’miliki’ oleh penduduk migran non Port Numbay. Belakangan ini beberapa orang asli Port Numbay tinggal di rumah kontrakan/kos yang dibangun oleh orang non Port Numbay. Mereka juga semakin terisolasi dan tersingkir di pingiran kota. Beberapa dari mereka terkepung ditengah bangunan ruko-ruko, pasar dan bangunan lainnya. Semakin Sulit ditemukan  pemukiman asli orang Port Numbay. 

Hak kepemilikan tanah sudah beralih tangan dan fungsi. Bertolak dari dari situasi demikian, pertanyaan refleksi saya ialah bagaimana nasib orang Port Numbay pada Tahun 2124 atau pada 100 tahun yang akan datang? Migrasi dan Pembangunan berdampak positif bagi orang Port Numbay?

*II. Musnahnya Suku-Suku Asli dunia oleh Suku-suku Eropa* 

Pengalaman serupa sebagaimana yang dialami oleh orang Papua khususnya orang asli Port Numbay, selama 114 tahun ini juga dialami suku bangsa lainnya diberbagai benua. Kami gambarkan musnahnya suku-suku asli di wilayah Benua Amerika (Amerika Latin dan Amerika Utara), Australia dan Asia.

Musnahnya suku-suku asli ini terjadi setelah 50-100 tahun kontak dengan orang asing dari Eropa.

 *1. Amerika Latin* 

 _Pulau Hispaniola_ 

Ketika Columbus menemukan pulau Hispaniola pada tahun 1492, ada kurang lebin 300.000 jiwa penduduk asli disana. Empat tahun kemudian, karena perampokan migran dari Eropa, Orang asli di Hispaniol, hanya 200.000 jiwa yang tersisa. 

Limapuluh tahun kemudian, hanya 5.000 (lima ribu) jiwa yang masih hidup. Sekarang hampir tidak ada yang dapat di hitung. 

_Brasil_ 

Menurut perkiraan ahli sejarah, penduduk asli di Brasil berjumlah 4.000.000 jiwa sebelun bangsa Portugis masuk ke daerah itu pada abad ke enambelas. 

Pada tahun 1900 hanya 500.000 jiwa yang sisa dalam 230 suku. Di antara tahun 1900 dan 1957 mereka di selidiki lagi hingga tinggal hanya 80.000 jiwa yang tersisa dalam 143 suku; ini berarti bahwa di antara tahun 1900 dan 1957 ada 87 suku asli yang musnah di Brasil; dan ini berarti pula bahwa 1,5 suku asli musnah dalam setahun di satu negara.

Pada tahun 1971 jumlah penduduk asli telah menurun lagi menjadi 50.000 jiwa. Biasanya suku suku hilang/musnah dalam 50 tahun setelah kontak yang pertama dengan mereka.

*2. Amerika Utara* 

Sejak para pionir dari Eropa mulai masuk pada abad ko XVII, kira-kira 20 suku asli “have been pushed over the brink into extinction," atau berada diambang kepunahan misalnya suku Iluron, suku Yahi, suku Yana dan lain lain. 

Ada juga suku suku lain yang hampir mati habis/musnah tetapi kira kira tahun 1900, Pemerintah Canada dan USA lebih memperhatikan kebutuhan suku suku tersebut sehingga mulai terselamatkan. 

Menurut US Cencus Bereau (Biro Sensus AS) pada 2022 total populasi suku asli Amerika saat ini ada sekitar 6,79 juta orang dari 331,9 juta penduduk Amerika Serikat. Angka tersebut menyumbang sekitar 2,09 persen dari total jumlah penduduk Amerika.

*3. Australia* 

_Pulau Tasmania_ 

Pada tahun 1803 pendatang dari Eropa telah mulai mengambil tanah suku asli yakni suku Aborigine di pulau Tasmania. Suku tersebut membalasnya dengan membunuh beberapa ekor sapi dari pendatang dari Eropa tersebut, sebagai "swan" atas tanah yang di ambil.
Tetapi di dalam penilaian orang migran Eropa, orang yang tidak berpakaian dan yang tidak berbahasa nasional, apa lagi yang  selalu berpindah pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, tidak boleh disebut pemilik tanah. (Walaupun nenek moyang mereka telah mendiami pulau itu ribuan tahun). 

Akhirnya pendatang Eropa itu bangun dan membunuh segala yang berwarna hitam dan yang berjalan diatas dua kaki. Sebagai akibatnya kaum Aborigine (kurang lebih 5.000 jiwa) hilangkan dari pulau Tasmania dalam 73 tahun. Saat ini satu pun sulit dijumpai. 

_Daratan benua Australia_ 

Suku Aborigin yang mendiami daratan Australia dulu berjumlah kira kira 300.000 jiwa. Sekarang hanya 115.000 jiwa yang tersisa. Dari 115.000 jiwa itu, akibat eksploitasi seksual, hanya 35.000 jiwa orang Aborigine yang dapat disebut sebagai "full-bloode." Jumlah ini masih sedang "disedikiti“ atau menuju pemusnahan.

Beberapa suku telah hilang seterusnya, misalnya suku yang dulu berdiam dekat muara sungai Swan di Australia Barat, menurut perhitungan pada abad lalu berjumlah 1.500 jiwa. Banyak kota-kota besar di Australia, orang asli pemilik tanah dibunuh dan punah. Misalanya Di daerah untuk kota Perth, suku itu cepat sekali "disidikiti" sampai anggotanya yang terakhir Joobailch moninggal pada tahun 1907. Pada 2023, jumlah penduduk orang asli suku Aborijin 812.728 jiwa dari Populasi  26.439.111 jiwa. 

*4. Wilayah Hindia* 

 _Kepulauan Andaman_ 

Sebelum tahun 1858, kaum Negrito di pulau Andaman berjumlah 6.000 jiwa. Setelah pemerintah Inggris berkuasa/berkoloni sekarang hanya 600 orang Negrito yang tersisa. Di antara mereka ada banyak perempuan yang disteril, dan dengan  penyakit kelamin yang dimasukkan para migran pada abad yang lalu. 

_Pilipina_ 

Suku suku asli yang masih ada di pulau Mindanao sudah lama diusir dari pantai ke rimba, gunung gunung di pedalaman. Susahnya para pedagang telah masuk wilayah hutan rimba itu juga, dan sedang membunuh penduduk pribumi dan merampas tanah mereka, khususnya untuk memperoleh hasil hutannya. Misalnya pada tahun 1971 beberapa ratus penduduk asli di laporkan menjadi korban dalam pembunuhan beşar disebelah Barat pulau Mindanao. Presiden Marcos turun tangan, dan telah menyusun sebuah organisasi yang disebut PANAMIN, di bawah pimpinan Manuel Elizalde, untuk melindungi suku-suku yang sedang “menuju pemusnahan" di pulau pulau Pilipina. 

Pada hari ini kita selalu mendengar laporan atau protes mengenai beberapa jenis binatang yang sedang musnah; misalnya Harimau di Sumatera, Komodo di Nusa Tenggara, Gorila di Afrika, buaya, ikan paus dan lain sebagainya. Tetapi belum banyak orang memperhatikan bahwa banyak sekali kebudayaan dan manusia sedang mengalami kemusnahan sama seperti jenis-jenis binatang tersebut diatas. 

Merujuk pada fakta di atas dan statistik yang ada para ahli memperkirakan bahwa diperkirakan seluruh dunia sedang kehilangan 5(lima) suku bangsa setiap tahun. 

*III. Ancaman Genosida dan Ekosida di West Papua* 

Mengikuti data BPS Papua dan berbagai penelitian demografi kependudukan di Tanah Papua salah satunya ialah Dr. Jim Elmslie dalam Under the Gun Indonesian Economic Development versus West Papua Nationalism dapat diringkaskan sebagai berikut, pada Tahun 1971 Penduduk Papua berjumlah 923.000 jiwa terbagi non Papua 36.000 sedangkan  Papua 887.000 jiwa. 

Pada tahun 1990 non Papua 414.210 jiwa dan Papua berjumlah 1.215.897.00 dengan jumlah total, 1.630. 1.630.107.00 jiwa. Pada 2005 jumlah penduduk non Papua, 1.087.694.00 dan Papua, 1.558. 795.00 jumlah total 2.646. 489.00. 

Pada 2011, jumlah non Papua, 1.980.000.00 dan Papua 1.700.000,00 jumlah total, 3.680.000.00 jiwa . Pada 2020 jumlah Penduduk Provinsi Papua 4,3 juta jiwa dan Provinsi Papua Barat, 1,13 juta jiwa.

Jumlah total penduduk Provinsi Papua dan Papua Barat, 5. 3.13.000 jiwa. Dari jumlah penduduk Papua dan Papua Barat tersebut, dalam kurun waktu 10 tahun dari 2010-2020 Provinsi Papua terjadi penambahan penduduk 1,3 juta jiwa sedangkan penambahan penduduk Provinsi Papua Barat 373,65 ribu jiwa. Total penambahan Penduduk dari luar Papua yang masuk 1, 6 juta jiwa.
Bukan hanya manusia yang sedang musnah tetapi juga terjadi pemusnahan pada lingkungan hidup. 

Kejahatan Lingkungan Hidup Di Papua Selama 20 Tahun (2001-2021) demi dan Atas Nama Investasi. Sebagaimana diketahui bersama bahwa Papua memiliki 2/5 (38%) dari areal hutan yang masih ada di Indonesia tetapi faktanya saat ini perusahaan-perusahaan membersihkan lahan untuk kelapa sawit, pabrik kertas/pulp dan pertambangan yang beroperasi di Papua mengakibatkan deforestasi. Penyebab lain untuk deforestasi adalah pembangunan infrastruktur sipil, pemukiman warga transmigrasi, pembangunan kantor, jalan trans antar kabupaten, daerah pembangunan infrastruktur TNI/POLRI. 

Pada Maret-Mei 2020 melalui citra satelit ditemukan deforestasi lahan seluas 1.488 ha pada areal kelapa sawit. Yang terbesar di wilayah Manokwari (372 ha), di wilayah Merauke (372), di Boven Digoel (222 ha) dan di Bintuni (110 ha). Laporan Indonesian Monitoring Coalition (koalisi ini terdiri dari 11 NGOs) deforestasi di Papua sangat meningkat selama administrasi Presiden Jokowi. 

Menurut data Badan Pusat Statistik pada tahun 2020, Luas Tutupan Hutan Papua adalah 34,4 juta hektar (ha). Selama 20 tahun terakhir areal hutan alami mengalami deforestasi 663,433 ha; 71% dari deforestasi ini terjadi selama kurun waktu 2011-2019. Maka rata-rata deforestasi di Papua sekitar 34,000 ha per tahun; puncaknya tahun 2015: 89,000 ha.  Selama kurun waktu 2015-2019 (kabinet Jokowi I) Papua kehilangan 298,600 ha. Deforestasi yang paling besar adalah di wilayah Merauke (123,000 ha), Boven Digoel (51,600 ha), Nabire (32,900 ha), Teluk Bintuni (33,400 ha), Sorong (33,400 ha) dan Fakfak (31,700 ha). 

Bertolak dari fakta ini apabila ada penguasa kolonial Indonesia (Presiden Jokowi dan Kabinetnya) pada Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara G-20 di Roma pada 31 October 2021 mengatakan: “Indonesia memiliki hutan tropis terbesar di Dunia, Indonesia memiliki arti strategis dalam menangani perubahan Iklim.” Maka pertanyaannya ialah perlindungan Hutan tropis mana yang dimaksudkan?

Kami perlu tegaskan disini bahwa penurunan Luas Tutupan Hutan Papua memiliki dampak yang signifikan terhadap kehidupan orang Papua. Sebagian besar OAP adalah kaum peramu, peladang, petani, pemburu dan nelayan, tentunya memiliki ketergantungan terhadap lingkungan sekitar sebagai sumber ketersediaan pangan. Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan baik hutan maupun laut, secara langsung akan berdampak terhadap sumber pangan dan pendapatan OAP.

 *IV. Catatan Penutup* 

Berpotred dari fakta selama ini dan atas apa yang kami gambarkan dalam materi ini maka kehadiran orang asing, suku-suku Eropa di berbagai wilayah membawa dampak genosida pada suku-suku asli setempat. Demikian juga kehadiran bangsa Eropa di West Papua pada awal abad ke 19-20 kemudian ditindaklanjuti oleh Bangsa Indonesia di West Papua telah berdampak pada pemusnahan orang asli Papua khususnya pada orang Port Numbay. 

Kontak dengan orang Eropa dan Indonesia di West Papua  mengantar orang Port Numbay telah menjadi marjinal, terdiskriminasi secara rasial dan sedang menuju pada Pemusnahan etnis di atas tanah dan negeri mereka.

Hanya kaum elit dan buruh kasar penguasa yang sudah mati nurani, matanya dibutakan oleh senjata intelijen, senjata hukum dan senjata loreng saja yang masih memandang dan menghibur mereka dengan berkata Investasi Sawit, Otsus, Pemekaran membawa kesejahteraan, membawa kemajuan. Ini adalah dalil-dalil klasim mereka dalam membenarkan tindakan pendudukan demi genosida, ekosida dan etnosida  terhadap orang asli Papua.
Pada akhir materi ini, saya hendak menegaskan kembali bahwa Port Numbay, West Papua bukan tanah kosong, Papua bukan milik kaum burjuis, elit kapitalis, elit militer, elit politisi untuk investasi emas, kelapa sawit, perkebunan dan lainnya. Tetapi tanah Port Numbay, West Papua adalah tanah kami, tanah milik orang Papua, Papua merupakan harta orang Melanesia. 

Karena itu, Saya mengajak mari bersama kita lantunkan lagu Black Brathers, pada 1975, “Sadarlah Kau Cara Hidupmu, yang hanya, menelan korban yang lain. Bintang Fajar terbit, hari kiamat, kiamatlah juga engkau” Ingatlah Tuhan bangsa Papua tidak tidur! Sebelum semuanya terjadi bertobatlah engkau! Jangan meratapi kematian sobat. Lihat ke depan, Bintang Fajar Pasti Terbit dari Negeri Matahari terbit. Waaaaa…

Oleh: Tn.Markus Haluk
Sekt. Eksekutif ULMWP

Senin, 04 Maret 2024

Mengapa kami selalu eksis mengkritik boneka Jakarta yang ada di Papua melangengkan sistem Penindasan?

Argumentasi teori adalah  perbedaan antara proletar dan borjuis terletak di kepemilikan alat produksi. Kaum borjuis adalah orang-orang yang memiliki modal dan alat produksi. Sedangkan proletar adalah orang-orang yang hanya memiliki tenaga untuk dijual.

Hari ini orang Papua yang kerja didalam sistem Pemerintahan kolonial indonesia itu adalah buruh, yang menjual tenaga kerja terhadap kaum Borjuis yang memiki modal & alat produksi. Orang Papua di Pekerjakan satu kali 24 jam menjual tenaga di dalam pemerintahan demi menjaga keutuhan negara dan modal agar mata rantai penindasan berjalan mulus. 

Kategori proletariat / buruh adalah para pekerja sistem negara dan Perusahaan tentang Penanaman modal atau kapital. Banyak varian - varian buruh yaitu buruh pabrik, buruh harian, buruh migran, buruh birokrat, buruh terampil, buruh kasar dan buruh lepas. 

Dalam varian - varian buruh 90% orang dijuluki sebagai buruh birokrat menjalankan sistem Pemerintahan Kolonialisme Indonesia. Karl Marx menilai bahwa sistem ekonomi kapitalisme telah melakukan eksploitasi terhadap kaum buruh. Marx berargumen bahwa nilai suatu barang dihasilkan melalui proses produksi atas kerja buruh, Sedangkan kapitalisme mencuri nilai lebih tersebut.

Orang Papua jika melihat dengan kaca mata Politik Sosialisme. 
Partai politik kolonial adalah suatu alat kaum borjuis untuk penimbunan modal/Kapital. Faktor partai - partai borjuis setiap pesta demokrasi kolonial indonesia di Papua memicu konflik diantara rakyat tertindas. 

"Teori konflik Karl Marx menyatakan bahwa masyarakat berada dalam keadaan konflik yang tiada henti karena persaingan untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas. Teori konflik berpendapat bahwa tatanan sosial dipertahankan melalui dominasi dan kekuasaan, bukan melalui konsensus dan konformitas". 

Memang benar, setiap aktivis Papua berpidato bahwa Kolonialisme Indonesia adalah aktor konflik horizontal & Vertikal di Papua karena secara argumentasi teori ilmiah menjelaskan dengan jelas. 
Rakyat Papua harus menyadari bahwa konflik Sosial hari ini terjadi bukan ada begitu saja, tetapi konflik di picu oleh penjajah / kolonialisme Indonesia. 


Oleh: VI

Senin, 12 Februari 2024

Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan berhenti merampok Tanah Masyarakat Adat 108 hektar, Milik Suku Hubula klen Wouma & Welesi.

Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan berhenti merampok Tanah Masyarakat Adat 108 hektar, Milik Suku Hubula klen Wouma & Welesi. 
Masyarakat Adat Hubula terancam punah dari mereka Tanah Adatnya sendiri karena praktik kapital Birokrat tidak menghargai harkat & martabat masyarakat Hubula sedikit-pun, memang praktik seperti ini kejahatan luar biasa yang diciptakan oleh Pemerintah Kolonial Indonesia terhadap masyarakat Adat. 

Orang Hubula menjuluki Tanah sebagai ( Ninagosa ) artinya mama kehidupan, dan kalau melihat Tanah 108 hektar yang di rampas oleh Kapitalisme Birokrat tempat dimana masyarakat Wouma & Welesi bertani. 
Kapitalisme birokrat mengancam eksistensi kehidupan masyarakat Adat Wouma & Welesi dengan adanya tindakan perampokan Tanah Adat atas kepentingan Pembangunan Kantor Gubernur. Kapitalisme Birokat juga benar - benar menghancurkan relasi sosial mulai dari Struktur masyarakat Adat, klen Suku, Sub Marga dan lebih spesifik lagi dalam keluarga kecil. 

Kapitalisme Brokrat / Intelektual Pelacur seperti Wamendagri  Jhon Wempi Wetipo  dan Anggota MRPP Ismael Asso, mengancam nyawa Masyarakat Wouma dan Welesi demi kepentingan akumulasi modal tanpa menghormati serta menghargai ahli waris Tanah yang sedang mempertahankan Tanah Adat. 

Antek – antek Jakarta yang ada di Papua memang benar tidak ada niat baik bagi masyarakt Hubula lebih khususnya klan Suku Wouma dan Welesi, serta klen suku kerabat yang ada di Hubulama karena dari tindakan agresif menentukan sifat keasliannya benar - benar biadab. Tanah  masyarakat Adat Hubula di rampas paksa108 hektar, itu tanpa ada musyawarah dan mufakat bersama  dengan ahli waris Tanah dari  klan Suku  Wouma & Uelesi, hal itu menyebabkan masyarakat melakukan penolakan penempatan Kantor Gubernur Provinsi Papua Pegunungan. 

Tanah masyarakat Adat Hubula  di rampok oleh Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan, tanpa mempertimbangkan eksistensi kehidupan masyarakat Hubula lebih spesifik dua klen Suku  karena keberlansungan hidup masyarakat Adat pada Tanah, Hutan, dan segala macam potensi sumber daya alam. 

Pejabat Sebentara Gubernur Provinsi Papua Pegunungan juga terlihat arogan dengan pernyataan dan pengambilan Keputusan di media sosial, seolah olah tidak ada masalah penolakan dari masyarakat Adat selaku ahli Waris Tanah . Pernyataan PJ  memang terlihat arogan dan anggap reme dengan penolakan penempatan kantor Gubernur Papua Pegunungan oleh masyarakat dari  klen suku Wouma & Welesi. 
 
Dari sejak awal wacana penempatan Kantor Gubernur Provinsi Papua Pegunungan itu masyarakat Adat pemilik Tanah / Ahli waris Tanah Adat masih eksis melakukan penolakan tetapi antek – antek Jakarta mengambil kebijakan sepihak akhirnya sampai detik ini ada konflik internal antar masyarakat Adat. 

Kalau melihat lokasi penempatan Kantor Gubernur Papua Pegunungan tempat dimana masyarakat setempat bertani untuk bertahan hidup. Dan juga Tanah tersebut Tanah produktivitas Ekonomi tradisional bagi masyarakat dari dua klen Suku. Perampokan Tanah Adat tersebut semua lembaga advokat dan Tokoh Gereja harus menanggapi serius dan mengadvokasi karena eksistensi masyarakat Adat sudah terancam.  

#Kami_Bersama_Masyarakat_Adat
#Hidup_Masyarakat_Adat_Hubula
#Hubula_Bukan_Tanah_Kosong
#Papua_Bukan_Tanah_Kosong
#Tanah_Air_Milik_Kita
#Tutup_Mata_Lawan_Balik 

Minggu, 21 Januari 2024

"Perampokan Tanah Masyarakat Adat Hubula oleh Kapitalisme Birokrat adalah salah satu bentuk kejahatan luar biasa"

"Perampokan Tanah Masyarakat Adat Hubula oleh Kapitalisme Birokrat adalah salah satu bentuk kejahatan luar biasa"

Masyarakat Adat Hubula terancam punah dari mereka Tanah Adatnya sendiri karena praktik kapital Birokrat tidak menghargai harkat & martabat manusia Hubula sedikit-pun, memang priktik seperti ini kejahatan luar biasa yang diciptakan oleh Pemerintah Kolonial Indonesia terhadap masyarakat Adat. 

Orang Hubula menjuluki Tanah sebagai ( Ninagosa ) artinya mama kehidupan, dan kalau melihat Tanah 108 hektar yang di rampas oleh Kapitalisme Birokrat tempat dimana masyarakat Wouma & Uelesi bertani. 
Kapitalisme birokrat mengancam eksistensi kehidupan masyarakat Adat Wouma & Uelesi dengan adanya tindakan perampokan Tanah Adat atas kepentingan Pembangunan Kantor Gubernur. Kapitalisme Birokat juga benar - benar menghancurkan relasi sosial mulai dari Struktur masyarakat Adat, klen Suku, Sub Marga dan lebih spesifik lagi dalam keluarga kecil. 

Kapitalisme Brokrat / Intelektual Pelacur seperti Wamendagri  Jhon Wempi Wetipo  dan Ustad Ismael Asso mengancam nyawa Manusia Wouma dan Uelesu demi kepentingan akumulasi modal tanpa menghormati serta menghargai ahli waris Tanah yang sedang mempertahankan Tanah Adat. 

Antek – antek Jakarta yang ada di Papua memang benar tidak ada niat baik bagi masyarakt Hubula lebih khususnya klan Suku Wio, Uelesi, dan klen suku kerabat yang ada di Hubulama karena dari tindakan agresif menentukan sifat keasliannya benar - benar biadab. Tanah  masyarakat Adat Hubula di rampas 108 hektar itu tanpa ada musyawarah dan mufakat bersama  dengan ahli waris Tanah dari  klan Suku  Wouma & Uelesi, hal itu menyebabkan masyarakat melakukan penolakan penempatan Kantor Gubernur Provinsi Papua Pegunungan. 

Tanah masyarakat Adat Hubula  di rampok oleh Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan, tanpa mempertimbangkan eksistensi kehidupan masyarakat Hubula lebih spesifik dua klen Suku  karena keberlansungan hidup masyarakat Adat pada Tanah, Hutan, dan segala macam potensi sumber daya alam. 

Pejabat Sebentara Gubernur Provinsi Papua Pegunungan juga terlihat arogan dengan pernyataan dan pengambilan Keputusan di media sosial, seolah olah tidak ada masalah penolakan dari masyarakat Adat selaku ahli Waris Tanah . Pernyataan PJ  memang terlihat arogan dan anggap reme dengan penolakan penempatan kantor Gubernur Papua Pegunungan oleh masyarakat dari  klen suku Wouma & Uelesi. 
 
Dari sejak awal wacana penempatan Kantor Gubernur Provinsi Papua Pegunungan itu masyarakat Adat pemilik Tanah / Ahli waris Tanah Adat masih eksis melakukan penolakan tetapi antek – antek Jakarta mengambil kebijakan sepihak akhirnya sampai detik ini ada konflik internal antar masyarakat. 

#Kami_Bersama_Masyarakat_Adat
#Hidup_Masyarakat_Adat_Hubula
#Hubula_Bukan_Tanah_Kosong
#Papua_Bukan_Tanah_Kosong
#Tanah_Air_Milik_Kita
#Tutup_Mata_Lawan_Balik